GEOLISTRIK

Pendahuluan
Penggunaan geolistrik pertama kali dilakukan oleh Conrad Schlumberger pada tahun 1912. Geolistrik merupakan salah satu metoda geofisika untuk mengetahui perubahan tahanan jenis lapisan batuan di bawah permukaan tanah dengan cara mengalirkan arus listrik DC ('Direct Current') yang mempunyai tegangan tinggi ke dalam tanah. Injeksi arus listrik ini menggunakan 2 buah 'Elektroda Arus' A dan B yang ditancapkan ke dalam tanah dengan jarak tertentu. Semakin panjang jarak elektroda AB akan menyebabkan aliran arus listrik bisa menembus lapisan batuan lebih dalam.
Dengan adanya aliran arus listrik tersebut maka akan menimbulkan tegangan listrik di dalam tanah. Tegangan listrik yang terjadi di permukaan tanah diukur dengan menggunakan multimeter yang terhubung melalui 2 buah 'Elektroda Tegangan' M dan N yang jaraknya lebih pendek dari pada jarak elektroda AB. Bila posisi jarak elektroda AB diubah menjadi lebih besar maka tegangan listrik yang terjadi pada elektroda MN ikut berubah sesuai dengan informasi jenis batuan yang ikut terinjeksi arus listrik pada kedalaman yang lebih besar.
Dengan asumsi bahwa kedalaman lapisan batuan yang bisa ditembus oleh arus listrik ini sama dengan separuh dari jarak AB yang biasa disebut AB/2 (bila digunakan arus listrik DC murni), maka diperkirakan pengaruh dari injeksi aliran arus listrik ini berbentuk setengah bola dengan jari-jari AB/2.
Umumnya metoda geolistrik yang sering digunakan adalah yang menggunakan 4 buah elektroda yang terletak dalam satu garis lurus serta simetris terhadap titik tengah, yaitu 2 buah elektroda arus (AB) di bagian luar dan 2 buah elektroda tegangan (MN) di bagian dalam.
Kombinasi dari jarak AB/2, jarak MN/2, besarnya arus listrik yang dialirkan serta tegangan listrik yang terjadi akan didapat suatu harga tahanan jenis semu ('Apparent Resistivity'). Disebut tahanan jenis semu karena tahanan jenis yang terhitung tersebut merupakan gabungan dari banyak lapisan batuan di bawah permukaan yang dilalui arus listrik.
Bila satu set hasil pengukuran tahanan jenis semu dari jarak AB terpendek sampai yang terpanjang tersebut digambarkan pada grafik logaritma ganda dengan jarak AB/2 sebagai sumbu-X dan tahanan jenis semu sebagai sumbu Y, maka akan didapat suatu bentuk kurva data geolistrik. Dari kurva data tersebut bisa dihitung dan diduga sifat lapisan batuan di bawah permukaan.

Kegunaan
Mengetahui karakteristik lapisan batuan bawah permukaan sampai kedalaman sekitar 300 m sangat berguna untuk mengetahui kemungkinan adanya lapisan akifer yaitu lapisan batuan yang merupakan lapisan pembawa air. Umumnya yang dicari adalah 'confined aquifer' yaitu lapisan akifer yang diapit oleh lapisan batuan kedap air (misalnya lapisan lempung) pada bagian bawah dan bagian atas. 'Confined' akifer ini mempunyai 'recharge' yang relatif jauh, sehingga ketersediaan air tanah di bawah titik bor tidak terpengaruh oleh perubahan cuaca setempat.
Geolistrik ini bisa untuk mendeteksi adanya lapisan tambang yang mempunyai kontras resistivitas dengan lapisan batuan pada bagian atas dan bawahnya. Bisa juga untuk mengetahui perkiraan kedalaman 'bedrock' untuk fondasi bangunan.
Metoda geolistrik juga bisa untuk menduga adanya panas bumi (geotermal) di bawah permukaan. Hanya saja metoda ini merupakan salah satu metoda bantu dari metoda geofisika yang lain untuk mengetahui secara pasti keberadaan sumber panas bumi di bawah permukaan.

Keunggulan
Keunggulan metoda geolistrik untuk mendeteksi perlapisan batuan sampai kedalaman sekitar 500 m:
Item
Keunggulan
Harga peralatan
Relatif murah
Biaya survei
Relatif murah
Waktu yang dibutuhkan
Relatif sangat cepat, bisa mencapai 4 titik pengukuran atau lebih per hari
Beban pekerjaan
Peralatan yang kecil dan ringan sehingga mudah untuk mobilisasi
Kebutuhan personal
Sekitar 5 orang, terutama untuk konfigurasi Schlumberger
Analisa data
Secara global bisa langsung diprediksi saat di lapangan

Konfigurasi
Metoda geolistrik terdiri dari beberapa konfigurasi, misalnya yang ke 4 buah elektrodanya terletak dalam satu garis lurus dengan posisi elektroda AB dan MN yang simetris terhadap titik pusat pada kedua sisi yaitu konfigurasi Wenner dan Schlumberger. Setiap konfigurasi mempunyai metoda perhitungan tersendiri untuk mengetahui nilai ketebalan dan tahanan jenis batuan di bawah permukaan. Metoda geolistrik konfigurasi Schlumberger merupakan metoda favorit yang banyak digunakan untuk mengetahui karakteristik lapisan batuan bawah permukaan dengan biaya survei yang relatif murah.
Umumnya lapisan batuan tidak mempunyai sifat homogen sempurna, seperti yang dipersyaratkan pada pengukuran geolistrik. Untuk posisi lapisan batuan yang terletak dekat dengan permukaan tanah akan sangat berpengaruh terhadap hasil pengukuran tegangan dan ini akan membuat data geolistrik menjadi menyimpang dari nilai sebenarnya. Yang dapat mempengaruhi homogenitas lapisan batuan adalah fragmen batuan lain yang menyisip pada lapisan, faktor ketidak-seragaman dari pelapukan batuan induk, material yang terkandung pada jalan, genangan air setempat, perpipaan dari bahan logam yang bisa menghantar arus listrik, pagar kawat yang terhubung ke tanah dsbnya.
'Spontaneous Potential' yaitu tegangan listrik alami yang umumnya terdapat pada lapisan batuan disebabkan oleh adanya larutan penghantar yang secara kimiawi menimbulkan perbedaan tegangan pada mineral-mineral dari lapisan batuan yang berbeda juga akan menyebabkan ketidak-homogenan lapisan batuan. Perbedaan tegangan listrik ini umumnya relatif kecil, tetapi bila digunakan konfigurasi Schlumberger dengan jarak elektroda AB yang panjang dan jarak MN yang relatif pendek, maka ada kemungkinan tegangan listrik alami tersebut ikut menyumbang pada hasil pengukuran tegangan listrik pada elektroda MN, sehingga data yang terukur menjadi kurang benar.
Untuk mengatasi adanya tegangan listrik alami ini hendaknya sebelum dilakukan pengaliran arus listrik, multimeter diset pada tegangan listrik alami tersebut dan kedudukan awal dari multimeter dibuat menjadi nol. Dengan demikian alat ukur multimeter akan menunjukkan tegangan listrik yang benar-benar diakibatkan oleh pengiriman arus pada elektroda AB. Multimeter yang mempunyai fasilitas seperti ini hanya terdapat pada multimeter dengan akurasi tinggi.

Konfigurasi Wenner
Jarak MN pada konfigurasi Wenner selalu sepertiga (1/3) dari jarak AB. Bila jarak AB diperlebar, maka jarak MN juga harus diubah sehingga jarak MN tetap sepertiga jarak AB.

Keunggulan dari konfigurasi Wenner ini adalah ketelitian pembacaan tegangan pada elektroda MN lebih baik dengan angka yang relatif besar karena elektroda MN yang relatif dekat dengan elektroda AB. Disini bisa digunakan alat ukur multimeter dengan impedansi yang relatif lebih kecil.
Sedangkan kelemahannya adalah tidak bisa mendeteksi homogenitas batuan di dekat permukaan yang bisa berpengaruh terhadap hasil perhitungan. Data yang didapat dari cara konfigurasi Wenner, sangat sulit untuk menghilangkan faktor non homogenitas batuan, sehingga hasil perhitungan menjadi kurang akurat.

Konfigurasi Schlumberger
Pada konfigurasi Schlumberger idealnya jarak MN dibuat sekecil-kecilnya, sehingga jarak MN secara teoritis tidak berubah. Tetapi karena keterbatasan kepekaan alat ukur, maka ketika jarak AB sudah relatif besar maka jarak MN hendaknya dirubah. Perubahan jarak MN hendaknya tidak lebih besar dari 1/5 jarak AB.
Kelemahan dari konfigurasi Schlumberger ini adalah pembacaan tegangan pada elektroda MN adalah lebih kecil terutama ketika jarak AB yang relatif jauh, sehingga diperlukan alat ukur multimeter yang mempunyai karakteristik 'high impedance' dengan akurasi tinggi yaitu yang bisa mendisplay tegangan minimal 4 digit atau 2 digit di belakang koma. Atau dengan cara lain diperlukan peralatan pengirim arus yang mempunyai tegangan listrik DC yang sangat tinggi.
Sedangkan keunggulan konfigurasi Schlumberger ini adalah kemampuan untuk mendeteksi adanya non-homogenitas lapisan batuan pada permukaan, yaitu dengan membandingkan nilai resistivitas semu ketika terjadi perubahan jarak elektroda MN/2.
Agar pembacaan tegangan pada elektroda MN bisa dipercaya, maka ketika jarak AB relatif besar hendaknya jarak elektroda MN juga diperbesar. Pertimbangan perubahan jarak elektroda MN terhadap jarak elektroda AB yaitu ketika pembacaan tegangan listrik pada multimeter sudah demikian kecil, misalnya 1.0 milliVolt.
Umumnya perubahan jarak MN bisa dilakukan bila telah tercapai perbandingan antara jarak MN berbanding jarak AB = 1 : 20. Perbandingan yang lebih kecil misalnya 1 : 50 bisa dilakukan bila mempunyai alat utama pengirim arus yang mempunyai keluaran tegangan listrik DC sangat besar, katakanlah 1000 Volt atau lebih, sehingga beda tegangan yang terukur pada elektroda MN tidak lebih kecil dari 1.0 milliVolt.
Contoh penggunaan jarak MN/2 terhadap jarak AB/2
- Untuk jarak AB/2 dari 2.5 m sampai 10 m, gunakan jarak MN/2 = 0.5 m
- Untuk jarak AB/2 dari 10 m sampai 40 m, gunakan jarak MN/2 = 2.0 m
- Untuk jarak AB/2 dari 40 m sampai 160 m, gunakan jarak MN/2 = 8.0 m
- Untuk jarak AB/2 dari 160 m sampai 500 m, gunakan jarak MN/2 = 30 m
Contoh di atas tidak mengikat dan bisa juga digunakan pasangan harga yang lain apabila dirasa perlu.

Penentuan Jarak AB/2
Tujuan dari penentuan jarak elektroda AB/2 agar dalam perhitungan 'true resistivity' yang menggunakan program komputer sesuai dengan filter konfigurasi pada program komputer. Dalam satu dekade logaritma (misalnya jarak AB/2 antara 1 m sampai 10 m, atau antara 10 m sampai 100 m) harus terbagi menjadi beberapa jarak AB/2 secara logaritma. Jarak AB/2 yang ideal adalah terbagi menjadi 12 bagian logaritmik. Angka 1.211528 merupakan angka perkalian untuk pembagian 1 dekade menjadi 12 bagian. Rumus untuk pembagian 12 per dekade dalam bahasa pemrograman = Exp(Log(10) / 12). Untuk pembagian 8 bagian per dekade = 1.333521
ideal
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Jarak AB/2
1.00
1.21
1.47
1.78
2.15
2.61
3.16
3.83
4.64
5.62
6.81
8.25
10.00

Logarithmic Scale of 'ideal spacing'

(angka 2, 3, 4, 5, 6 dan 8 hanya untuk reference)

Angka jarak AB/2 yang terbagi menjadi 12 bagian per dekade tersebut sulit untuk diterapkan di lapangan, sehingga dalam satu dekade akan kita kurangi menjadi 10 bagian dan angka-nya dibulatkan.
applied
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Jarak AB/2
1.00
1.20
1.60
2.00
2.50
3.00
4.00
5.00
6.00
8.00
10.00
Untuk jarak AB/2 selanjutnya, deretan angka tersebut dikalikan dengan angka perkalian 10 dan seterusnya

Logarithmic Scale of 'applied spacing'


Pengukuran Pada Konfigurasi Schlumberger
Untuk pengukuran data geolistrik pada konfigurasi Schlumberger perlu diperhatikan ketika akan memindahkan elektroda MN/2. Hendaknya paling sedikit satu buah (dua buah lebih baik) jarak AB/2 yang diukur pada MN/2 yang berbeda, seperti terlihat pada contoh di bawah. Hal ini berguna untuk mengetahui non-homogenitas batuan yang terletak dekat dengan permukaan sebagai kontrol pada saat perhitungan, sehingga persyaratan geolistrik terpenuhi.

MN/2
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
2
2
0.5
2
2
2
2
2
8
8
2
AB/2
2.5
3
4
5
6
8
10
10
12
12
16
20
25
30
40
40
50
50

MN/2
8
8
8
8
8
30
30
8
30
30
30
30
AB/2
60
80
100
120
160
160
200
200
250
300
400
500

Metoda Penghitungan Resistivity Semu
Untuk menghitung Resistivity Semu, diperlukan suatu bilangan faktor geometri (K) yang tergantung pada jenis konfigurasi, jarak AB/2 dan MN/2. Perhitungan bilangan konstanta K ini berdasarkan rumus
Rumus umum untuk Schlumberger dan Wenner :
K = 2 x phi / ( 1 / AM - 1 / BM - 1 / AN + 1 / BN)





Schlumberger :
K = phi x (A x A - M x M) / (2 x M)





Wenner :
K = 2 x phi x a





Apparent Resistivity :
Ra = K x V / I






Catatan :
AM, BM, AN dan BN = jarak antar elektroda, AB sebagai elektroda arus dan MN sebagai elektroda potensial (meter).


A
=
jarak AB/2 (meter)


M
=
jarak MN/2 (meter)


phi
=
3.141592654


a
=
jarak AB/3 atau jarak MN (meter)


Ra
=
Apparent Resistivity (Ohm.meter)


K
=
Faktor Geometri (meter)


V
=
tegangan listrik pada elektroda MN (mV, milliVolt)


I
=
arus listrik yang diinjeksikan melalui elektroda AB (mA, milliAmpere)





Agar cepat dalam menghitung tahanan jenis semu sewaktu survei, hendaknya Faktor Geometri (K) ini dicetak pada kertas data di samping angka jarak AB/2 dan MN/2. Bila menggunakan kalkulator yang mempunyai fasilitas programming, rumus penghitungan faktor geometri ini bisa dimasukkan sebagai langkah program untuk menghitung tahanan jenis semu.

Asumsi
Interpretasi dari pengukuran ini bisa dilakukan dengan asumsi bahwa :
*
di bawah permukaan tanah terdapat sejumlah lapisan batuan dengan ketebalan terbatas
*
lapisan batuan di bawah permukaan dalam posisi horizontal
*
setiap lapisan batuan mempunyai sifat homogen (jenis litologi sama) dan secara kelistrikan bersifat isotropik (diukur dari berbagai arah akan memberikan harga yang sama)

Sejarah Perhitungan
Pada awal perkembangan geolistrik yaitu sebelum ada komputer, maka metoda yang digunakan adalah metoda 'Curve Matching', yaitu mencocokkan data lapangan dengan kurva standard. Hasil perhitungan yang menggunakan metoda 'Curve Matching' ini sangat subyektif, setiap orang yang melakukan perhitungan akan berbeda satu sama lain. Hal ini disebabkan karena faktor ketelitian setiap orang dalam memproses data lapangan bisa berbeda.

Master Curve untuk konfigurasi Schlumberger

(Parasnis,D.S, 1971, Principles of Applied Geophysics, p.108)

Sekitar tahun 1970-an saat beredar kalkulator yang bisa diprogram seperti pada Texas Instrument SR-52, para programer yang mempunyai latar belakang pengetahuan geolistrik mulai menggunakan program komputer untuk menghitung data geolistrik.
Pada tahun 1980-an setelah komputer banyak digunakan di kantor ataupun pada masyarakat pengguna lainnya, maka secara praktis perhitungan data geolistrik telah berpindah dari 'Curve Matching' ke program komputer. Hasil perhitungan data geolistrik yang berupa jarak AB/2 kontra tahanan jenis semu menjadi ketebalan lapisan batuan dan tahanan jenis sebenarnya ('true resistivity') akan memberikan hasil perhitungan yang lebih obyektif dari pada penggunaan metoda 'Curve Matching'.
Sebelum tahun 1985, mulanya program komputer untuk penghitungan data geolistrik menggunakan bahasa pemrograman Fortran. Sejak DOS ('Disk Operating System', 1985-1993) banyak digunakan pada komputer, bahasa pemrograman yang digunakan adalah BASIC (keluaran IBM), QuickBASIC (keluaran Microsoft) ataupun TurboBASIC dan Pascal (keluaran Borland) dengan alasan lebih mudah dan lebih sederhana dari pada bahasa pemrograman Fortran.
Setelah Windows 95 beredar yang kemudian diikuti Windows 98, ME, 2000, XP dan Vista serta kecepatan CPU yang semakin meningkat serta penggunaan RAM yang lebih besar, maka digunakan bahasa pemrograman Visual Basic (keluaran Microsoft) dan Delphi (keluaran Borland) yang lebih leluasa menggunakan kapasitas besar file dan memory, logika program yang lebih terstruktur serta tampilan pada layar monitor yang jauh lebih baik. Juga tidak tertutup kemungkinan untuk menggunakan bahasa pemrograman C dan C++.

0 komentar: